tempo.co |
Eksploitasi kayu bajakah di Kalimantan setelah kabar prestasi karya tulis ilmiah tiga siswa SMAN 2 Palangkaraya yang menyebut kayu ini dapat melawan sel kanker menjadi viral mengungkap sisi lain jurnalisme Indonesia yang gagap sains.
Berawal dari berita tentang prestasi dua pelajar cerdas, pemberitaan merembet secara liar. Mulai dari berita tentang serba-serbi kayu bajakah hingga cara mengonsumsi dan membuat ramuan kayu bajakah. Ada satu fakta penting yang malah luput dibahas media massa profesional.
Penelitian ini baru penelitian awal, baru diujicobakan pada tikus. Penemuan awal ini masih harus melalui sederetan uji lanjutan dan proses yang panjang sebelum bisa diklaim aman dan memiliki efek yang sama pada manusia.
Itu alasan sejumlah pakar medis belum berani mengambil sikap atas penemuan ini atau merekomendasikan penggunaan kayu bajakah. Belum ada uji klinis yang terbukti. Fakta lain yang luput dibahas, tidak semua kayu bajakah aman dikonsumsi.
Tak tereksposenya fakta-fakta itu ditambah bumbu aneka resep jamu bajakah yang dilaporkan pers kita membuat masyarakat heboh. Efek lanjutannya adalah eksploitasi besar-besaran kayu bajakah di Kalimantan. Sejumlah media bahkan melaporkan sekolah para siswa berprestasi ini kerap diserbu orang yang meminta resep bajakah yang manjur dan berimbas pada terganggunya proses belajar. Semua berkat pemberitaan media yang asal-asalan.
Fenomena buruk pemberitaan sains populer ini bukan kali pertama. Pada 2017 lalu media kita latah memberitakan seorang pemuda yang menimba ilmu di Belanda dan mengaku memiliki segudang prestasi bombastis.
Tak Ada Permintaan Maaf
Entah karena malas memverifikasi fakta, terlalu percaya pada orang yang dianggap “pintar”, atau memang sengaja mendompleng popularitas agar berita laku, sejumlah media arus utama berlomba-lomba mengekspose pemuda ini.
Pada kemudian hari terungkap semua yang disampaikan si pemuda hanya kebohongan. Tanggung jawab media? Cukup dengan mengunggah berita bahwa si pemuda selama ini bohong dan mengeksploitasi permintaan maaf dan daftar dosanya.
Tak ada permintaan maaf karena menyesatkan masyarakat, seakan-akan kesalahan ini sepenuhnya kesalahan si pemuda tanpa andil pers yang dengan konyol mau dibohongi. Pada awal 2016 di Indonesia pernah heboh dengan berita “Iron Man” asal Bali.
Berita ini berawal dari situs guyonan yang menyebut seorang lelaki di Bali yang bekerja sebagai tukang las adalah Iron Man, superhero bikinan Marvel Comics, di dunia nyata karena komponen elektronik dan mekanik yang menempel di tubuhnya.
Unggahan ini menyebut si lelaki mengalami kelumpuhan tangan dan berkat alat canggih itu dia bisa bekerja secara normal. Media di Indonesia jadi latah. Berita sanjungan sampai membandingkan dan mengkritik pemerintah serta akademisi yang tak mampu menghasilkan “prestasi” setara karya si tukang las bermunculan.
Tak perlu jadi pakar untuk mendeteksi kejanggalan tangan bionik tersebut. Komponen acak yang asal susun cukup menunjukkan keanehan. Toh, hal ini tak membuat media yang seharusnya skeptis menjadi kritis. Berita ini akhirnya hilang sendiri. Mungkin jurnalis yang memberitakan belakangan sadar dirinya tertipu.
Tak ada permintaan maaf kepada khalayak karena sudah menebar hoaks. Semua dibiarkan berlalu dan hilang dari ingatan. Pada tahun yang sama ada kasus informasi keliru tentang penemu teknologi 4G asal Indonesia yang membuat sosok yang diberitakan terpaksa mengeluarkan pernyataan meluruskan berita yang terbit tanpa verifikasi itu.
Wawasan Sains
Ada beberapa dua hal berperan dalam penyebaran informasi keliru oleh media mainstream: agenda media dan keawaman wartawan. Dalam era digital, diskusi yang kerap kali muncul adalah siapa yang memainkan agenda saat ini: media atau publik?
Pada media arus utama yang berorientasi profit, publik maupun media dalam era digital kerap saling berbagi agenda. Pemberitaan oleh media massa bisa saja diawali dari informasi viral. Topik yang viral dipoles dengan berbagai perspektif lalu disebarkan kembali kepada khalayak.
Media hanya mengarungi gelombang viral untuk menarik khalayak dan mengeruk keuntungan. Bisa juga agenda muncul dari media massa. Dalam konteks ini, mekanisme test the water berlaku. Berita yang dianggap penting dan menarik oleh media arus utama dan dilemparkan ke khalayak akan dicermati.
Ketika mendapatkan tanggapan positif, akan lebih banyak eksplorasi topik dilakukan. Jika tak ada tanggapan yang baik dari khalayak, agenda ini akan lekas ditinggalkan dan diganti dengan agenda lain. Berita-berita semacam ini cenderung hit or miss.
Artikel berkualitas dengan data yang panjang dan mendalam biasanya malah lebih sering miss dan tak viral karena dianggap memerlukan energi lebih untuk menelaah. Berita lempang yang memantik emosi akan lebih sering viral.
Jika ditarik ke topik sains, tidak semua topik sains populer. Pembahasan yang terlalu saintifik malah lebih sering tak terbaca. Sains populer, yang menyentuh hajat hidup orang banyak dan dianggap membanggakan, akan lebih mudah viral.
Ketika topik ini viral, agenda media jelas: menggali informasi viral ini lebih dalam demi keuntungan. Di sini pertaruhan terjadi karena yang viral belum tentu benar. Alasan kedua adalah jurnalis yang awam soal sains. Alasan ini sebenarnya tak masuk akal karena disiplin utama wartawan adalah verifikasi.
Pola Pikir Kritis
Sikap skeptis menjadi bekal dasar bagi jurnalis. Dengan skeptis akan muncul pola pikir kritis. Ketika dipadukan dengan disiplin verifikasi, pola pikir kritis akan membawa jurnalis pada penggalian data yang lengkap, detail, dan akurat.
Sayangnya, ketika berhadapan dengan para saintis, baik yang betulan saintis maupun hanya mengaku-aku saintis, sikap skeptis ini terkadang hilang dan asal percaya karena yang menyampaikan informasi dianggap narasumber pakar.
Hilangnya sikap skeptis ini menjadi masalah karena akan berujung bukan pada upaya verifikasi, melainkan konfirmasi. Artinya pekerja pers bukan lagi mencari data untuk mengecek kebenaran informasi, melainkan mencari pernyataan yang menguatkan informasi awal.
Hasilnya bisa ditebak, sains dan teknologi abal-abal malah bisa menjadi semakin meyakinkan dan menyesatkan. Dua alasan itu, sayangnya, bisa bercampur. Berita yang belum lengkap keburu dipaksa dipublikasikan oleh meda massa demi alasan kecepatan pemberitaan dan memanfaatkan momentum.
Jika ini terjadi, kita akan terus terperosok di lubang yang sama. Solusi atas permasalahan ini kembali lagi ke kesadaran pengasuh media massa dan para insan pers yang bekerja di dalamnya. Harus ada komitmen membuat berita sains yang bermutu agar tak sampai menyesatkan masyarakat.
Harus ada niat bahwa berita seputar ilmu pengetahuan dan teknologi dibuat dengan tujuan mencerdaskan dan mencerahkan, bukan semata-mata mencari keuntungan. Harus ada kesadaran bahwa tugas pers adalah menyampaikan kebenaran, bukan malah mengaburkan fakta demi berita yang terlihat seksi dan menawan.