Konflik antara Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan
Djarum memasuki babak baru. Beberapa bulan lalu, KPAI mengkritik Audisi Umum
Beasiswa Badminton Djarum karena dianggap mengeksploitasi anak dengan melekatkan merek rokok pada
anak-anak. Isu ini sudah sempat mereda namun Minggu 9 September 2019 mendadak
menghangat. Permasalahannya, PB Djarum mengeluarkan pernyataan akan
menghentikan sementara Audisi Umum Beasiswa Djarum pada 2020 mendatang. Alasan
mereka: menurunkan tensi permasalahan yang menghangat soal kritik logo Djarum yang
melekat di seragam peserta Audisi Beasiswa Badminton Djarum.
Kabar tersebut disambut dengan kehebohan. Selama ini program
ini dianggap sudah sukses besar melahirkan atlet badminton kelas dunia. Menutup
program ini oleh sebagian besar masyarakat dianggap sebagai langkah menutup
torehan prestasi di cabang olahraga ini. Jika diamati bisa jadi ada berbagai
kemungkinan alasan di balik keputusan ini dan alasan itu adalah hak Djarum
sebagai pemilik program. Bisa jadi karena alasan kritik, bisa jadi pula karena
mereka tengah membenahi sistem pendidikan badminton untuk sementara waktu.
Keputusan menutup program ini ini jelas bisa dimaknai
beragam, namun kesan yang saya tangkap dari keputusan ini adalah sebuah
gertakan dari Djarum kepada KPAI. Semacam pernyataan “lo jual, gue beli”. KPAI
mengkritik, Djarum bereaksi. Menariknya, reaksi ini tidak dilakukan secara
frontal. Serangan Djarum dilakukan dengan cara passive aggressive:
mereka berperan sebagai korban (playing the victim).
Eksekusinya pun cerdik. Cukup dengan satu pernyataan singkat
bahwa mereka akan mematuhi kritik KPAI dan menutup sementara Audisi Umum
Beasiswa Badminton Djarum, KPAI kena batunya. Sontak KPAI menjadi musuh publik
karena dianggap menutup salah satu jalur prestasi olahraga Indonesia. Hujatan,
cacian, kecaman diarahkan ke komisi ini. Bahkan mereka terpaksa memprivate akun
resmi Instagram mereka untuk menghindari banjir komentar menghujat. Bahkan
Menteri Olahraga Imam Nahrawi terang-terangan memilih berpihak di kubu Djarum
dalam kasus ini. Pintar!
Unjuk Kuasa
Bagi saya yang hanya mengamati strategi PR Djarum dari sudut
pandang akademisi, langkah Djarum begitu terukur. Mereka paham betul posisi,
peluang, dan solusi yang tepat dalam kasus ini. Menghadapi kritik KPAI, Djarum
berada di posisi superior. Mereka mendapatkan lebih banyak dukungan publik. Hal
ini tentu tak lepas dari citra positif yang sudah mereka bangun selama
bertahun-tahun melalui program CSRnya. Citra baik ini didukung pula oleh
sederet prestasi yang sudah terbukti, bukan cuma unjuk wicara apalagi sekadar
wacana. Sebaliknya, KPAI mendapat sorotan karena dianggap tak memiliki kinerja
yang konkret selain hanya bersuara.
Sederhananya, Djarum mengacuhkan KPAI pun tak akan ada
masalahnya. Perbincangan masyarakat cenderung membela Djarum dan menganggap
KPAI mengada-ada saat kritik ini dilontarkan. Tak usah bereaksi pun KPAI sudah
kena serang masyarakat, 1-0 untuk Djarum! Namun Djarum agaknya punya
pertimbangan lain. Mendiamkan kritik tanpa respons seperti memelihara duri
dalam daging. Jika tak ditanggapi, kritik ini bisa berkembang, apalagi
kritiknya memang spot on dan berisiko bagi citra Djarum. Maka perlu langkah strategis agar citra mereka
bertahan sekaligus mengirimkan pesan bahwa Djarum begitu dicintai. Sebisa
mungkin, langkah ini tak semata merespons kritik, namun juga memiliki efek
sampingan lain: publikasi dan unjuk kuasa.
Strategi mereka agaknya berhasil. Dari sisi publikasi,
Djarum menjadi sorotan, nama perusahaan mereka naik dan menjadi tajuk di
berbagai media. Djarum juga sukses unjuk kuasa bahwa mereka adalah perusahaan
milik masyarakat yang begitu dicintai. Tak ada kekuasaan yang lebih hebat
selain dukungan dari masyarakat dalam jumlah besar. Sebuah pernyataan singkat
dari petinggi Djarum telah menggerakkan people power, bahkan media dan
pemerintah pun ikut berkubu pada Djarum dalam kasus ini yang semakin meneguhkan
superioritas Djarum sebagai perusahaan bercitra positif.
CSR Strategis Djarum
Dari mana citra positif perusahaan yang lekat dengan produk
mematikan ini didapat? Sederet program CSR melalui Djarum Foundation
jawabannya. Program yang sudah dilakukan selama lebih dari satu dekade ini
merupakan garda depan Djarum untuk membersihkan nama mereka. Penerima
manfaatnya sudah mencapai jutaan orang, bahkan saya salah satunya.
Meskipun bukan perokok, saya bisa memiliki ikatan spesial
dengan Djarum. Pada 2010, perusahaan rokok ini memberi saya beasiswa melalui
program Beswan Djarum. Jumlah uangnya lumayan, cukup untuk membeli kamera DSLR
pertama saya yang harganya terbilang mahal untuk ukuran mahasiswa. Uang hanya
sebagian dari manfaat yang saya terima. Lebih dari itu, program beasiswa yang
tidak mensyaratkan surat keterangan tidak mampu ini juga memberikan beragam
bekal dan pengalaman yang luar biasa. Mulai dari program pengembangan karakter,
mempertemukan saya dengan banyak orang-orang hebat, sampai mengintip sedikit di
balik program-program CSR (Corporate Social Responsibility) Djarum,
termasuk Bakti Olahraga yang tenar melalui Audisi Umum Beasiswa Badminton
Djarum.
Anggapan hipokrit sampai cuci dosa bisa melekat dan itu jelas
buruk. Salah langkah mereka bisa dihujat habis-habisan karena mempromosikan
kesehatan sekaligus mempromosikan rokok yang dianggap musuh kesehatan. Ironis.
Toh dengan empat program bakti mereka Djarum sukses membangun citra sebagai
perusahaan yang turut membangun Indonesia.
Entah disadari atau tidak, program-program CSR ini telah
menjadi sebuah tumpuan bagi sebagian kalangan di Indonesia. Para penggemar
badminton akan menjadikan beasiswa badminton Djarum sebagai tolok ukur
keberhasilan mereka di bidang olahraga ini. Apalagi didukung dengan prestasi PB
Djarum yang memang luar biasa di kancah bulutangkis. Bagi sejumlah seniman,
Bakti Budaya Djarum menjadi harapan untuk dapat menggelar sebuah perhelatan
seni akbar dan agung. Hal serupa terjadi juga untuk Bakti Lingkungan dan Bakti
Pendidikan. Dari kasus ini kita berkaca, bagaimana sebuah citra yang dijaga
secara konsisten bisa digunakan sebagai sebuah “senjata” yang ampuh, bahkan
mematikan.
Gilang Jiwana
Dosen Ilmu Komunikasi UNY